Sabtu, 30 April 2011

Apresiasi Film Nasional Bagian dari Upaya Pelestarian Khasanah Budaya Bangsa Indonesia


Film yang baik merupakan media komunikasi, menghubungkan gambaran masa lampau dengan sekarang dan mencerdaskan dan mencerahkan bangsa karena memberikan nilai-nilai keberagaman terkandung didalamnya seperti sarana penerangan atau informasi, pendidikan, pengekspresian seni . Film juga mendiskripsikan watak, harkat, dan martabat budaya bangsa. Sekaligus sebagai memberikan manfaat dan fungsi yang luas bagi bidang ekonomi, sosial dan budaya. Film tidak hanya semata menonjolkan unsur hiburan semata, tetapi lebih kepada tanggung jawab moral untuk mengangkat nilai nasionalisme bangsa dan jati diri bangsa yang berbudaya.

Dengan menambahkan unsur hiburan, artistik, digital teknologi dan kemasan yang menarik apresiasi penonton. Film sekarang ini sudah menjadi komuditas menguntungkan. Tak jarang perusahaan ‘menyentuh’ media ini dalam iklan produk guna mengangkat penjualan.

Naga Bonar (1986) merupakan contoh unik dan mewakili gambaran, bagaimana sebuah nilai atau pesan yang diangkat di kemas dalam bentuk sederhana tanpa memerlukan pemikiran dan diskusi panjang. Cukup dengan seorang kisah bernama Naga Bonar yang mempunyai karakteristik tipikal budaya Medan tetapi mempunyai obsesi kebangaan terhadap diri sebagai panglima jendral besar yang siap kapan saja berjuang demi mengusir penjajah pada waktu itu. Dialog-dialog terkesan unik khas orang batak, penuh humor segar. Memang karakter ini susah untuk dicari pengganti sekelas Dedi Mizwar. Tak pelak lagi sekuel Naga Bonar Jadi Dua pun menjadi tontonan segar dan menarik dengan format modern tetapi tidak kehilangan jati dirinya.

Tak hanya di situ tetapi film juga sebagai penyampai pesan moral, informatif, sejarah maupun solusi atas tema-tema yang berkembang di masyarakat. Di hari jadi sebuah tabloid ibukota yang meliput film terbaik dan terlaris yang menjadi benang merah antara masa lampau dan sekarang, seorang mantan wartawan film berkomentar bahwa film Lewat Djam Malam (1954) karya Asrul Sani sebagai film terbaik dari segi sinematografi maupun sosial karena mengangkat tema korupsi setelah perang revolusi usai. Ini masih relevan dengan kondisi pemerintahan saat ini dalam menumpas pemberantasan korupsi. Terkadang masyarakat mencari jawaban secara jelas lewat film karena lebih hidup dari pada sekedar debat kusir ditambah dengan standar kaidah sinematografi akan menambah kuatnya pesan yang akan disampaikan.

Tetapi yang terpenting dari semua itu bagaimana film bisa dijadikan alat atau media informasi, pendidikan, alternatif gagasan/idea bagi banyak manfaat bagi masyarakat. Setiap sugguhan tayangan berbobot bisa diterima dengan cara pandangan sederhana, setidaknya bisa membawa pandangan baru berupa nilai-nilai tersirat atau hiburan semata. Kasus film yang mengundang pandangan tersebut dari hal isu paling sensitif seperti poligami yang merupakan problematika sekaligus realita sosio-kultural di masyarakat. Nia Dinata berusaha melakukan pendekatan pandangan tentang poligami di Berbagi Suami. Paradigma sisi feminimisme perempuan coba disinggung, Yang pada akhirnya semua tergantung pada penonton mengenai keberpihakan soal poligami tersebut.

Sejarah Merupakan Tranformasi Gagasan

Tentu saja peran dominan dari pemerintahan ini dalam melestarikan dan melembagakan situs-situs sejarah bangsa lewat media visual. Tidak setenggah-setengah dan dukungan penuh para pekerja seni dan masyarakat demi kemajuan film modern Indonesia. Tak pelak lagi apresiasi budaya film akan meningkat dengan program mari mencintai dan menonton film Indonesia yang berkualitas. Sekaligus meluruskan sejarah bukan sejarah para penguasa, tetapi sejarah bangsa yang orisinal

Film nasional adalah budaya warisan. Film juga menggambarkan sisi perjalanan pandangan dengan potret sejarah menurut zamannya. Budaya priayi berbeda dengan budaya pop yang serba “bebas”. Jadi jika ingin melihat kebudayaan suatu bangsa. Tidaklah salah dengan melihat filmnya. Karena film mewakili generasi, konflik sosial, sejarah, budaya, bahkan kekuasan. Bahkan film bisa menggambarkan ekspresi individu atau kolektif atas realita, pandangan, dan seni itu sendiri. Dari alur jalan cerita, peran tokoh karakter, kamera, setting background sampai musik sangat terasa menyatu jika terintegrasi dengan baik, sehingga bisa dinikmati, dipahami, diapresiasi para pemirsa dan penonton.

Warisan itu bernama sejarah. Gagasan kesadaran akan harta karun zaman dulu yang menghubungkan kita sekarang ini lewat media film. Komite Film Dewan Kesenian Jakarta. Pada 7-31 Maret 2007, DKJ mencanangkan Bulan Film Nasional 2007 dan mencoba menyelami kembali sejarah perfilman negeri ini. Karena karya anak bangsa harus berpijak pada landasan sejarah yang benar. Bayangkan film Indonesia tanpa arah dan tujuan yang berlandaskan sejarah, bukan tidak mungkin bercita-cita awal luhur akan hancurnya peradaban film negeri ini. Masyarakat harus disadarkan bahwa mereka merupakan bagian sejarah itu sendiri. Bagaimana presfektif film yang seharusnya dibangun bisa melalui penyimpanan (filing, archiving).

Jadi sebenarnya usaha merekonstruksi bukanlah hal yang tidak mungkin. Bahkan boleh jadi menjadikan asset berharga yang tak ternilai bagi masyarakat. Tentunya dengan pengorbanan biaya pembuatan yang tentunya tidak sedikit dan perlunya orang yang tepat menangani. Asal historis yang terkandung berimbang tidak berat sebelah kesalah satu pihak. Karena sejarah film Indonesia adalah sejarah kekuasaan.

Lihat saja film Gie-nya Mira Lesmana dan Riri Riza, sangat berhasil menghidupkan suasana Jakarta dedake tahun1960 –an. Mulai dari pidato-pidato Presiden Soekarno di radio-radio dan iringan lagu Gendjer-Gendjer secara serius di garap secara professional oleh Art Director. Berhasil membawa imajinasi kita seolah tinggal di tahun tersebut yang sarat dengan pergolakan politik yang terkenal yaitu G30S – PKI. Karya ini bermuatan sejarah yang dikemas dalam balutan cacatan kehidupan seorang aktifis mahasiswa lengkap dengan bumbu romatisme dengan tidak menghilangakan nilai sejarah yang terkandung didalamnya.

Film Band of Brother karya Steven Spielberg dan Tom Hank yang pernah ditayangkan oleh station TV mengangkat kisah PD II dengan sejumlah komentar-komentar pelaku sejarah yang menjadi saksi sejarah pada waktu itu. Adalah merupakan proyek besar dan serius dari para sutradara kenamaan. Mengangkat ke layar lebar sehingga bisa secara utuh menggambarkan kejadian-kejadian secara lebih nyata dan hidup di abad millennium ini. Karya ini sangat monumental sekaligus prestisius untuk ukuran sekelas film Holywood.



Perfilman Indonesia : Sudahkan mendapat tempat di negeri ini? Sudahkah menjadi tuan dinegerinya sendiri ? Kedua pertanyaan tadi nampaknya masih sangat relevan dan signifikan menyangkut catatan sejarah panjang perfilm di Indonesia. Pernah mengalami mati suri.

Tak dapat dipungkiri ini menjadi awal sebuah dinamika kultur masyarakat Indonesia yang disebutkan perfilman bangsa ini telah mati suri selama sebelas tahun. Kebangkitan ini dimulai di tahun 1997 dengan hadirnya film Kuldesak yang dimotori sineas-sineas muda yang menamakan dirinya gerakan Sinema Independent mereka adalah Riri Reza, Mira Lesmana, Nan Achnas, Shanty Harmayn, Rizal Mantovani

Banyak pertanyaan muncul seputar rendahnya ‘spirit’ film Indonesia saat itu dari isi materi, dukungan pemerintah, serta lesunya animo penonton . Terbilang Film-film yang beredar seputar yang berbau horror dan film dewasa Sundel Bolong . Mungkin ini formula paling baku untuk menarik animo penonton. Meskipun faktanya film bergenre horror ini mengalami “reinkarnasi” dari segi metode pembuatan, kamera, animasi, pemain film dewasa ini.

Survey skala rating penonton TV terhadap tayangan-tayangan mistis sempat mengungguli sinentron, walaupun sempat mendapat reaksi keras dari kalangan masyarakat dan pemerintah. Mungkin ini pula yang menjadi alasan masih mewarnai film negeri ini disamping alasan komersil.

Bagaimana tidak persentase film ini tergolong banyak beredar di pasaran dibandingkan film yang mengangkat tema-tema kultur etnis seperti Ca Bau Kan atau film katagori festival yaitu Pasir Berbisik, Opera Jawa atau film-film bertemakan isu yang berkembang di masyarakat.

Walaupun ini tak sepenuhnya benar, bagaimana tidak Petualangan Sherina (1999) mampu menarik dan mencuri hati para penonton. Terbilang film musikal dengan kisah yang mengangkat suatu keluarga yang pindah dari suatu komunitas kota ke desa. Dimana citra budaya kota yang biasa diterima Sherina munaf ( pemeran/tokoh utama ) harus mengalami perubahan dan benturan adaptasi budaya ketika alam berubah di lingkungan pedesaan. Dengan tema yang sangat sederhana dan mudah dicerna oleh semua kalangan, disini Riri Riza sangat berhasil dan patut mendapatkan apresiasi di tengah kelesuan film nasional.




Arsip dan Pelestarian Film

Dimana kita bisa menikmati film-film dulu ?. Masih bisa kita tontonkah film gambar-gambar idoep ? Sebuah film dokumenter pertama yang di putar 5 desember 1900 di Tanah Abang sebelah toko mobil. Berisi tentang peristiwa di Eropa dan Afrika. Dimana film ini dipromosikan oleh harian Bintang Betawi. Tentu sangat sulit, hal ini ditegaskan oleh antropolog berujar bahwa “film Indonesia yang paling tua yang masih bisa ditonton adalah Enam Djam di Djogja (1951, Usmar Ismail).” Keterbatasan dan kurangnya program-program perlindungan nilai sejarah film nasional.

Ini menyangkut sistim dokumentasi, sebenarnya ada wadah yang mengelola bernama Sinematek Indonesia, lahir 20 Oktober 1975 bertempat di Pusat Perfilman Haji Usmar Ismail (PPHUI), Jakarta bertujuan menyimpan arsip. Inilah cikal bakal arsip film pertama di Asia tenggara dan telah terdaftar bergabung dengan FIAF (Federation Internasionale des Archives du Film), dan merupakan arsip pertama di Asia yang tergabung dalam asosiasi internasional.

Perawatan film seperti biasa kurang mendapatkan perhatian sehingga kerusakan tak terhindari. Alasan klise, masalah biaya maintainance dan kurang dukungan. Selama waktu itu Sinematek Indonesia masih mendapat dana dari Pemda DKI karena berdirinya bersama di keluarkanya SK guberbur DKI, Ali Sadikin. Setelah masa jabatan berakhir berakhir pula subsidi yang pada akhirnya diteruskan dengan mendirikan yayasan sebagai donatur dengan nominal dan instrument yang serba terbatas. Wajar bila banyak dokumentasi terbengkalai dan mulai rusak. Ungkapan kesedihan Salim Said dalam Pantulan Layar Putih, dimana sebagian film revolusi telah musnah dan hancur. Yang tersisa hanyalah guntingan koran, majalah, sinopsis film-film tersebut. Bahkan film monumental Tjoet Njak Dhien, Pareh, Terang Boelan, Antara Bumi dan Langit, Yang Muda Yang Bercinta, bahkan tidak kita jumpai di tempat itu.

Upaya mencegah kehancuran fatal telah banyak melalui kampanyenya kineforum Menolak Hilang Ingatan, idenya agar masyarakat tidak lupa akan filmnya sendiri dengan menggalang dana bisa lewat konser musik dengan cara yang unik dengan membuat album lagu, dimana diselipkan potongan film-film tempo dulu. Seperti pernyataan dari grup musik white shoes & the couples company yang beranggotakan berbasis IKJ “Album ini sangat, banget, terinspirasi oleh film-film nasional tempo dulu, seperti Tiga Dara, Asrama Dara, dan Ambisi. Di film-film itu, musik dengan film sangat dekat. Album ini kami buat dengan konsep sangat filmis, seperti soundtrack. Ada potongan dialog-dialog film yang dimasukkan (sebagai jembatan antara satu lagu dengan lagu berikutnya),"

Pemberdayaan lembaga atau komunitas bermotif pada pelestarian arsip film-film nasional, tidak hanya pada pusat kekuasaan saja. Tetapi harus merata di dearah atau pelosok negeri ini. Budaya lokal harus dijadikan aset berharga bagi informasi kepustakaan sekaligus kemandirian pemerintah daerah dalam meningkatkan kepedulian dan wawasan masyarakat setempat akan film. Tataran Sunda mengawalinya dengan film lokal pertama di tahun1926 berjudul Loetoeng Kasaroeng mengambil shooting di lokasi Padalarang dan diproduksi NV Java Film. Diperankan oleh anak bupati Bandung, lalu diputar di bioskop Majestic, yang sampai sekarang masih berdiri. Setahun kemudian diikuti film Eulis Atjih (Poetri Jang Tjantik dari Bandoeng), diputar di Bandung pada Agustus 1927. Sedangkan film kontemporer, budaya minang diangkat Riri Riza dalam film Eliana Eliana, Opera Jawa oleh Garin Nugroho.

Penyusunan atau daftar katalog film Indonesia yang diperoleh dari riset dan penelitian masih mendapat kendala dan belum ‘membumi’. Masih dalam tarap menempatan posisi atau eksistensi sebagai penyelamatan film nasional. Pandangan melihat penelitian sebagai kurang menguntungkan secara financial. Akhirnya kesenjangan informasi secara akurat dan detail sejarah film nasional sangat minim. Sangatlah wajar dan mendesak segera mengembangkan lembaga riset & penelitian film Indonesia sebagai bagian dari pelestarian karya seni layar lebar. Bisa dibuktikan sedikit tulisan ilmiah atau literatur secara sistematis sebagai sebuah buku, majalah, dan media lainya mengenai film Indonesia.Tengok saja di rak-rak toko buku apakah mudah mendapatkan informasi film?. Sudah saatnya pergerakan yang sifatnya melestarikan dan melembagakan segala informasi harus digalakan dan didukung oleh semua pihak. Agar kesalahan atau dosa sejarah tidak terulang lagi.

Membuka lembaran halaman buku lawas ibaratnya melihat sejarah film zaman dulu di jaman ini gampang-gampang susah. Mencari barang yang usang hanya mampir di museum-museum sejarah untuk menjaga kerusakan yang fatal. Boleh jadi itu hanya menjadi kenangan orang tua kita belaka. Begitulah kenyataan bila mencari karya-karya terdahulu dari para maestro sineas Indonesia. Bisa dikatakan alasan dengan mudah, bahwa teknologi dahulu berbeda format dengan sekarang. Bayangkan untuk merawat film perlu ruang penyimpanan film, bertemperatur 5 - 7 derajat Celcius dengan kelembaban 45% - 60% RH. Dalam kondisi ini film bisa dilestarikan sampai sekitar 50 tahun untuk film berwarna, 100 tahun untuk film hitam putih. Untuk bisa mempertahankan film berwarna hingga berusia 100 tahun temperaturnya harus 0 derajat Celcius dengan kelembaban ruang sekitar 40% RH. Cool storage serupa itu 'impiannya' akan dibangun di luar kota yang memiliki temperatur tidak sepanas Jakarta. Itu untuk menyimpan film arsip. Sedang ditempat yang sekarang hanya untuk menyimpan copy putar (screening copy).

Penggunaan program komputerisasi sebagai database katalog koleksi film, buku dan dokumentasi. Dengan adanya program ini diharapkan pengunjung mempermudah mencari data/informasi yang diperlukan. Dalam sistim dokumentasi dewasa ini orang dengan mudah menggandakan sebuah film dalam hitungan detik dalam sebuah compact disk ditambah dengan kapasitas VCD (700 MB), DVD (4,2 GB), dan teknologi DVD Blue-Ray (25 GB) bisa menyimpan sepuluh film.


Peran Serta Komunitas Masyarakat

Pandangan apresiasi masyarakat sangatlah beragam terhadap film. Sangatlah mudah dijawab karena tingkat pendidikan, dikutip dari Riri Reza dalam suatu wawancara dengan sebuah majalah. Sangatlah wajar bila masyarakat masih meminati film tertentu butuh edukasi waktu yang panjang dan melelahkan. Setidaknya perlu adanya pendekatan persuasif dari berbagai elemen masyarakat, budayawan, insan-insan perfilman, pemerintah serta lembaga-lembaga terkait. Pelatihan-pelatihan atau couching clinic ke sekitar kampus dan sekolah, pernyelenggaraan Jiffest, Ganesha Film festival merupakan bagian pijakan yang benar kearah meleknya masyarakat terhadap bagaiman proses pembuatan film, seni peran, sinematogafi berserta unsur apresiasi dunia film.

Peran masyarakat mempunyai hak yang sama untuk ikut berperan serta dalam memelihara, mengembangkan, memajukan dan mengawasi perfilman Indonesia. Pernyataan publik berupa kebijakan demi keberlangsungan dan kemajuan perjalanan film ke depan lebih cerah, sense belonging bergerak menuju keselarasan dengan tentunya tidak untuk mematikan daya kreatifitas anak-anak bangsa ini dalam berkarya menciptakan demi keharmonisan keselarasan bangsa ini dengan haus ‘ spriritualistis’.

Hal ini di tunjang dengan meleknya rakyat Indonesia terhadap information technology kemudian bermunculan forum atau komunitas film independent menjamur, ada sekitar delapan puluh komunitas film tersebar di dunia maya. Sebut saja komunitas ini tersebar di berbagai kota seperti filmalternatif.org, rumahfilm.org, jiffest.org, masyarakatfilmindonesia. wordpress.com, dan masih banyak lagi. Hebatnya lagi sebagian komunitas film ( kineruku, kinoki, arisan forum) menerbitkan jurnal untuk mengkaji dan mengangkat tema-tema masalah film Indonesia.

Tidak hanya itu saja, terjun aktif dalam kegiatan kampanye atau slogan dalam memajukan citra film di seluruh pelosok, yang masih terakumulasi di perkotaan besar saja dewasa ini. Komunitas-komunitas secara independen mengadakan diskusi-diskusi aktif mengenai isu-isu film Indonesia. Hal ini berkat kemajuan teknologi Informasi sehingga masyarakat di manapun bisa mengakses informasi dengan dialog interaktif yang melekatkan antara mayarakat awam, penikmat film, dan para insan perfilman. Timbal balik ini setidaknya memperkuat dan menjawab permasalahan atau problematik seputar film Indonesia.

Kemajuan teknologi telah menjadi bagian terpenting dalam pembuatan film bangsa ini. Produksi film menjadi sangat mudah dan cepat dengan teknologi kamera video digital ditambah dengan kapasitas komputer semakin besar sehingga leluasa beranimasi. Membuka keran selebar-lebarnya bagi amatiran, profesional dalam membuat film. Banyak cerita pendek di ungkap hanya menggunakan camera digital dan HP yang kemudian di upload di internet sehingga bisa dinikmati secara luas.


Perlu proses yang panjang dengan waktu, kesabaran, keringat dari kebiasaan masyarakat menonton yang kurang mendidik ke tema-tema atau polemik yang ada disekitar masyarakat. Sehingga mereka memandang dengan optimistik hidup, toleran, dan berbagi sesama. Bangsa ini telah lama menderita ditambah dengan tayangan yang kurang mendukung cara pandang bahkan terkadang menjual mimpi, di harapkan mampu menonjolkan sisi positif bangsa yang terhormat dengan semangat kebanggan nasionalismne untuk mencintai bangsa sendiri. Citra melekat selama ini mampu dikikis lewat film yang mampu menggugah, inspiratif dengan cara penyajian cerita yang sederhana dan mudah dipahami.

Kampus sebagai wadah akedemisi sekaligus menjadi jembatan interaksi komunikasi antara praktisi dan lembaga perfilman pemerintah, dan masyarakat untuk saling berbagi pengetahuan, workshop, dan ajang apresiasi bisa diberi tempat yang layak didukung. Seperti Ganesha festival film di ITB yang menyelenggaran acara tahunan. Animo publik terutama mahasiswa terbentuknya forum komunitas apresiasi film banyak menambah perbendaharaan dalam urun rembuk problematika film Indonesia. Terkadang kritikan mereka sangat tajam dan lugas. Ini menunjukan bahwa awarenes dunia pendidikan masih eksis dan cenderung independent. Pergulatan pemikiran akademisi tentu banyak menyentuh masalah kebijakan dan peraturan perfilman. Di dasari kepedulian dan keprihatinan besar untuk masa depan sinema negeri ini.

Selektifitas atas tontonan bermutu dan mendokumentasikan adalah bagian dari pelestarian budaya bangsa. Definisi tontonan bermutu bermaksud pada film yang memiliki karakter, nilai, pandangan, ajakan, dan informasi sekaligus hiburan, bukan film sebaliknya. Tipe film ini yang pantas mendapatkan apresiasi setinggi. Meskipun pada pada faktanya tidak setiap film bermutu memiliki daya jual, boleh jadi idelisme bukan komersialisme.

Untuk menyajikan film yang bermutu, workshop merupakan edukasi pengetahuan para sineas muda dalam berkarya sebagai penunjang sebuah kaidah standar film. Christine Hakim berucap dalam sebuah workshop di Bali “Saya berharap akan muncul sutradara berbakat dari aktivitas ini,”. Workshop ini bertujuan mempersiapkan film yang mengangkat isu-isu lingkungan. Tak pelak lagi global warming ikut mewarnai perjalanan film di dunia. Al Gore mantan wakil presiden Amerika Serikat sendiri mengkampayekan ajakan kesadaran terhadap kutub utara yang mengalami pencairan es secara tajam. Tingginya keprihatinan terhadap perusakan alam, membawa dia mendapat hadiah Nobel.



Apresiasi Film Indonesia

Layaknya sebuah karya seni tentu tidak lepas dari subjektitifas si empunya. Garin Nugroho pernah mengatakan bahwa “ nilai sebuah karya berdasarkan pretensi pembuat”. Ini tidak bisa dikatakan bahwa idealisme seseorang termuat atau secara eksplisit dalam media karya film beliau. Seperti dimuat dalam sebuah wawancara di majalah ibukota, sewaktu kecil beliau suka membayangkan dirinya dalam sebuah peran. Bahkan secara jelas dia termasuk orang soliter dan keras hati. Terkadang pemikiran yang berbeda tentunya tidak lantas sebagai hal yang dilarang tetapi harus dijadikan sebagai bahan perbandingan kritis. Wacana alam diskusi dewasa ini telah membuka pintu pemikiran lebih terbuka dan tidak memaksakan kehendak. Sehingga sebuah karya film tidak serta menjadikan pandangan utama, tetapi dipandangan sebagai sifat perbandingan, pendidikan, kritik, toleransi, dan alternative solusi, keterbukaan. Inilah secara sederhana disebut dengan “ apresiasi “.

Sebuah alur cerita film tidak berbeda dengan tulisan yang menggambarkan alam pemikiran si penulis memberikan ruang interaksi apresiatif yang positif terhadap suatu karya film. Sehingga wacana pembaharuan dan pencerahan bisa berlangsung bagi perfilman di Negara ini. Arifin Chairin Noer menyabet penulis skenario terbaik di festival film Asia 1972 dalam film Pemberang, juga mengatakan hal serupa yaitu “film sebagai media ekspresi pada saya “. Dilihat perjalan karirnya melalui teater kecil sebagai wadah ekspresi jiwa yang mengangkat protes sosial mengenai pelacuran, orang-orang terpinggirkan, pencopet, manusia-manusia kolong, disamping latar belakang orang yang taat pada agama. Taufiq Ismail pernah berkata usai pembacaan syair “ Arifin adalah pembela kaum miskin” hal ini dipertegas dengan pernyataan Arifin sendiri bahwa “ Saya hidup di dunia kelam dekat dengan kejelataan dan musik dangdut”.

Latar belakang dan pengalaman hidup telah mengajarakan pendidikan alami dan menempa paradigma menjadi nilai karya seseorang berdasarkan pretensi pembuat begitu ulang Garin. Corak, warna, gaya penuturan, setting, nilai-nilai universal akan menjadikan trade mark atau kekhasan seseorang. Teguh karya merupakan sosok pribadi yang teguh baik dalam dalam mengarahkan aktor/aktris dengan penuh disiplin dan kosistensi ketegasan. Hal ini diamini oleh Presiden Soekarno bahwa teguh karya si ‘sang kaisar’ menjadi simbol keteguhan dalam berkarya.

Mereka adalah orang yang masih memegang idealisme dan independensi serta kecintaan mendalam terhadap pelestarian kehidupan perfilm Indonesia.Contoh teladan hidup dan masterpiece di zamannya adalah tokoh-tokoh seperti Sjuman djaya, Christine Hakim, Asrul Sani, Usmar Ismail, Arifin C Noer, Dedi Mizwar, Garin Nugroho.

Sekarang ini para sineas cenderung membuat film dengan mengangkat realita-realita sosial, karena tentu saja permasalahan dan sudut pandang yang berbeda, meskipun hal ini tak selamanya benar. Penonton sekarang diajak untuk melihat sesuatu secara membumi tidak menjual khalayan dan mimpi bak sinetron. Film-film yang seperti ini jelas melawan arus dari segi keuntungan tetapi haruslah mendapat apresiasi dari “masyarakat yang masih belum terdidik tadi”. Lembaga perfilman pemerintah harus secara aktif memberikan ruang gerak yang lebih dengan memberikan kemudahan dan apresiasi yang setinggi-tinggi kepada film jenis ini. Boleh dikatakan sebuah ‘keberpihakan’ demi dan sekaligus mengarahkan penonton yang berkualitas dan tontonan yang berbobot tentunya.

Sungguh banyak bahwa penunjukan ‘jiwa’ film negeri telah mengalami era-era yang tentu saja banyak peralihan peradaban dari motif baik skala kecil menjadi besar. Fluktuasi budaya film tidak terlepas dari latar belakang peta politik dan sosial kemasyarakatan dewasa itu. Ini tentunya tidak merupakan acuan utama tetapi lebih sebagai pemicu bagi produser dalam kerangka usaha membentuk citra di mayarakat. Banyak film pada zamannya mewakili gambaran dirinya. Film era di tahun 1960-1980 bertemakan sejarah Janur Kuning dan Serangan 11 Maret merupakan representatif pemerintah orde baru dalam posisi sebagai citra pahlawan mengusir penjajah. Pesan dan nilai perjuangan ditanamkan sejak sekolah dasar. Masih dalam ingatan bahwa setiap tanggal 11 maret tiap-tiap sekolah dijawibkan menonton film tersebut.

Corak warna film mewarnai rantai cerita kisah dari masa ke masa, tidak lepas dari kondisi setempat yang mempengaruhinya. Bisa itu budaya, keyakinan, isu-isu yang berkembang dan hangat ketika itu. Tinggal para produser, sutradara, industri film mengolahnya sebuah pasar yang menjanjikan sekaligus menggugah akal, pikiran , dan nurani. Kepekaan-kepekaan lingkungan akan masalah yang berkembang akan menarik inspirasi dalam pembuatan film. Sesungguhnya banyak celah yang bisa diindahkan dalam pelestarian film dari segi dokumentasi sejarahnya mulai dari teknologi kamera konvensional sampai terbaru. Disitu bisa kita lihat pemanfaat dan kelebihan serta kekurangan yang berimbas kepada effisiensi, biaya produksi, waktu dan hasil produk. Walaupun tentunya tidak bisa tidak ini menjadi gambaran bagaimana pembuatan film dahulu akan sangat berbeda dengan penggarapan zaman sekarang.

Segmen film yang ditawarkan di negeri mulai beragam, tidak lagi menjadi monopoli film dewasa atau horor. Suatu loncatan dari para produser film memberikan banyak warna pilihan mulai dari film anak-anak ( Petualangan Sherina ), sejarah biograpi ( Soe Hoek Gie ), film nasionalisme-kepahlawan ( Naga Bonar Jadi Dua), situasi komedi ( X large ) dan banyak lagi. Boleh dikatakan sebenarnya perfilman negeri ini sudah pada track yang benar. Mudahan-mudahan tidak sekedar meraup keuntungan tetapi ada nilai atau pesan yang diangkat.
Pemberdayaan film sudah bergeser dengan munculnya peran serta pihak luar pagar yang besar seperti partisan non pemerintahan. Penghargaan diberikan kepada pihak insan pekerja seni tanah air setidaknya memberikan angin segar meningkatnya kreativitas anak muda dewasa ini untuk berkarya. Keikutsertaan mereka bisa membantu kekurangan masalah dana untuk lebih menggairahkan peta perfilman.

Persinggungan panggung film dengan ranah sosial, budaya masyararakat Indonesia terbilang sangat kuat. Bagaimana tidak, sekarang banyak film-film beredar diangkat dari kisah nyata terbilang film Gie (2005) seorang aktivis mahasiswa keturunan yang idealis bernama Soe Hok Gie, Eliana-Eliana (2002) dilatarbelakangi masalah sosial poligami, sampai Hantu Ambulan dari cerita sebuah mobil ambulan di Bandung yang mempunyai muatan cerita mistis, Ayat-Ayat Cinta (2008) yang diambil dari novel laris bernafaskan religi dan masih banyak lagi.

Tentunya ini merupakan himpunan dari upaya dan strategi menarik minat penonton. Tarik menarik materi cerita yang menjadi insipirasi para produksi film sangat tergantung dari idealisme, paradigma, sampai nilai komersil. Tentu sah-sah saja alasan apapun, ini menjadi banyak pilihan penonton untuk memilih alternatif yang beragam. Yang jelas dewasa ini telah membawa angin segar bagi perfilman di Indonesia. Tumbuh dengan subur para sineas-sineas muda, teknologi kamera video digital, serta dukungan iklan dan sponsor ditambah minat penonton menjadi tuan di negerinya sendiri.


Kritik Film Nasional

Genre film tertentu yang terlalu dominan dewasa ini sekaligus tidak membawa pesan yang membangun sebaiknya di kurangi dengan ajakan-ajakan edukatif. Menggiring tontonan seperti ini tentu perlu pendekatan yang serius dan membumi. Janganlah ditambah atau dipersulit bangsa ini dengan nilai-nilai yang kurang mumpuni, bawalah alam pemikiran mereka kepada sikap-sikap positif. Setidaknya film sendiri menjadi alat bantu pemerintah untuk mamajukan pendidikan mental dan spiritual tidak hanya melalui formal atau agama.

Dinamika film Indonesia adalah perubahan. Sifat menutup diri dari kritik, perundangan yang sudah usang, peraturan yang statis tidak fleksible harus senantiasa mengalami revisi seiring dengan perubahan yang cepat. Ada pepatah bijak mengatakan “ Bersiap-siaplah di telan jaman jika kita tidak dinamis”. Sikap-sikap seperti inilah harus menjadi referensi bagi seluruh elemen perfilman negeri ini.

Janganlah sejarah polemik insan film dengan pemerintah atau badan/lembaga terkait menjadikan kemunduran film bangsa ini. Biarlah waktu yang menentukan dan biarlah itu menjadi pendewasaan pemikiran. Harapan kedepan akan cerahnya film Indonesia masih terbuka lebar. Sumber daya manusia tidak pernah kering di negeri ini hanya penanganan dan sistim yang benar akan menumbuhkan harapan-harapan baru.

FFI dan penghargaan merupakat apresiasi tertinggi di dunia film Indonesia. Pertama kali diadakan di tahun 1955 dan Piala citra sebagai puncak kebanggaan para insan film di kancah yang paling bergensi di negari ini. Faktanya banyak kegelisahan dan kemelut dalam kinerja sistim di tubuh FFI masih mengundang polemik bahkan sampai dewasa ini. Terakhir film Ekskul di nobatkan sebagai peraih film kategori terbaik. Kontan banyak terkejut, para sineas muda mempertanyakan sistim penjurian. Mirip ketika generasi Usmar Ismail yang kala itu karyanya berjudul Lewat Djam Tengah Malam tidak meraih penghargaan kategori Sutradara terbaik.

Film ini dianggap ‘menggangu’ karena sifatnya mengkritik pemerintahan yang korup pasca perang revolusi. Karena banyak pengetatan aturan serta monopoli pada zaman orde baru. Pembungkaman corong politik sangat tabu diangkat ke layar lebar. Sehingga mematikan daya kreativitas, serta pemasungan berbicara di ranah tersebut sangat dilarang. Mungkin banyak film-film independen bawah tanah masih eksis tetapi tidak nampak ke permukaan. Sungguh tragis nasib film kita dewasa itu. Disamping atmosfir waktu itu tidak banyak membantu mencipta karya layar perak. Hanya sebagian film yang mendukung pemerintah atau tidak menyinggung hal sensitif.


Kemudian kurang harmonisnya para insan film dengan badan/lembaga perfilman nasional seperti BP2N, Lembaga Sensor Film (LSF) yang semuanya bemuara pada UU no 8 tahun 1992. Banyak persoalan-persoalan mengemuka ke publik mulai dari sistim kinerja FFI, pemotongan scene film. Mungkin banyak kepentingan turut campur dan terlibat sangat jauh. Sejauh ini memang terdapat tarik ulur secara policy, dan tampaknya titik temu masih jauh dari harapan. Barangkali semua masalah yang meliputi negeri perlu waktu, energi, dan biaya untuk tahap kemapanan dan stabil. Tetapi kadang timing yang tidak tepat. Minimal harus ada moral tanggung jawab terhdap kelangsungan perfilam Indonesia dengan tidak di tunggangi muatan politis.

Sudah saatnya lupakan permasalahan rumit nan pelik tadi. Masih banyak contoh bahwa tanpa atau dengan itu banyak potensi yang masih di kembangakan tanpa perlu melibatkatkan diri dalam permasalah di lihat dari segi masyrakat awam. Karena pergeseran baik berupa nilai, estetika, dan pandangan yang dinamis, tentu kebijakannya harus memberikan ruang dialog yang lebih luas demi kemajuan film tanah air. Bahkan boleh jadi ukuran-ukuran apresiasi film sangatlah subjektif. Apakah itu FFI, JIFFEST, FFJ atau penghargaan-penghargaan baik dari instansi pemerintah maupun non pemerintah secara independen, toh pada akhirnya masyarakatlah yang memilih tergantung pada tingkat kedewasaan pemahaman mereka terhadap film.

Masih hangat permasalahan undang-undang media pers sempat menjadi polemik nasional. Anggota legislatif dan komisi penyiaran harus merevisi setelah adanya masukan dari media cetak dan televisi. Gesekan perbedaan paling sering mengemuka adalah masalah batasan mengenai wilayah eksistensi dari ekspresi kebebasan . Sering kali benturan dengan lembaga sensor baik itu dari media pers maupun film. Penulis sekaligus sutradara Asrul Sani di tahun 1992 pernah mengatakan bahwa lembaga sensor sudah saatnya ‘ diperbaharui’ karena sudah tidak bisa menampung masalah perkembangan intelektual yang semakin kompleks. Beliau memberikan alternatif solusi dengan memberikan sepenuhnya kedalam bentuk diskusi atau dialog secara demokrasi yang melibatkan seluruh komponen masyarakat, pemerintah, insan film, media, pembuat dan distributor bersama-sama ikut bertanggung jawab dalam menciptakan kemaslahatan kehidupan film.

Seandainya RUU perfilman seperti yang telah dikemukakan diatas perlu adanya penyempurnaan, kenapa tidak. Tentunya dengan revisi akan mempermudahan penyelenggaraan bukan menambah masalah baru.

Sesungguhnya, secara legal dan badan, lembaga, asosiasi, dan unsur-unsur terkait dalam kecintaan mewarisi dan melindungan harta hasil karya-karya seni anak bangsa, ini telah memberikan payung hukum. Seiring dengan perkembangan dinamika jaman yang semakin banyak menimbulkan masalah dan tafsiran-tafsiran baru, harus senantiasa melakukan perubahan, penyempurnaan, bahkan membuat peraturan baru demi melindungi hak-hak dan kewajiban setiap perorangan, organisasi, lembaga, industri film dan pemerintah. Undang-Undang No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman di Bab 2 pasal 2 dalam asas, visi, misi, dan fungsi bahwa Penghormatan atas hak dan kewajiban serta kepastian dan persamaan hukum.

Tim perumus yang terdiri himpunan perfilman terkait, sewajarnya merevisi pasal-pasal yang menimbulkan penafsiran yang sudah tidak sesuai dengan kondisi sekarang ini. Dengan fleksibilitas RUU perfilman secara aktif melakukan adaptasi setiap perubahan akan lebih memberikan harapan cerah ke arah pertumbuhan yang sehat dan dinamis. Revisi-revisi dan penambahan fasal merupakan bagian upaya pelestarian film kita sebab sama saja dengan menjaga keberlangsungan karya seni dan budaya bangsa. Melindungi tindakan monopoli, memberikan ruang kebebasan berekspresi, memberikan jaminan hukum, memberikan batasan, wilayah yang jelas dalam kerangka pelaksanaanya.

Tidak lupa pula, peran serta pemerintah dalam mensuburkan iklim perfilman di tanah air. Dengan tidak menghambat daya kreativitas, memberikan rambu-rambu peraturan dalm mempermudah proses perijinan pembuatan film artinya prosedure tidak berbelit-belit. Tidak mempolitisir kebijakan undang-undang perfilman seperti UU no 8 tahun 1992. Biarlah perkembangan film berjalan secara sehat, kompetitif dan independent. Tim perumus harus mengadopsi semua kepentingan dalam penyusun draft RUU perfilman. Mereka dari organisasi yang berkecimpung di dunia film seperti Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI), Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI), Karyawan Film dan Televisi (KFT), Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI), Gabungan Studio Film Indonesia (GASFI), Persatuan Perusahaan Film Keliling Indonesia (PERFIKI), Asosiasi Industri Rekaman Video Indonesia (ASTREVI) dan organisasi profesi perfilman lain. Bila ini berjalan secara sinergi maka tentunya pendapatan pemerintah dari film ini akan menambah devisa negera. Sekaligus adanya pengontrolan dari hasil pajak yang harus di gunakan untuk perkembangan film nasional.
»»  READMORE...

Kongres PARFI digelar 23-26 Mei 2011

PERSATUAN Artis Film Indonesia (PARFI) siap menggelar kongres ke XIV di Hotel Sahid Jakarta pada 23-26 Mei 2011. Kongres ini merupakan inisiatif sejumlah anggota, setelah kepengurusan Ketua Umum Hj Jenny Rahman demisioner sejak setahun silam. "Kami berinisiatif mengelar kongres untuk melanjutkan kegiatan organisasi dan menentukan ketua umum yang baru," kata Firman Nurjaya, salah seorang koordinator panitia pelaksana kongres PARFI ke XIV kepada Kabar Film, Senin (14/3/2011) di Gedung Film, Jakarta Selatan.
Panitia kongres terbentuk 14 Februari, dan berupaya untuk memilih ketua umum dan jajarannya agar menjadikan PARFI sebagai organisasi artis yang independen dan mempunyai peranan penting di tengah kemajuan perfilman indonesia.
Kepanitian kongres PARFI ke XIV diketuai oleh Aa Gatot Brajamusti melibatkan beberapa nama artis seperti Paramitha Rusady, Elma Theana, Atin Martino, Goerge M Taka, Yana Rini Achbarie, Sandra Nahollo, Erna Santoso, MH. Thamrin Lubis dan Firman Lubis, dan Ketua PWI Jaya Seksi Film dan Kebudayaan Teguh Imam Suryadi sebagai Koordinator Bidang Publikasi dan Dokumentasi.
Pada hari dan tempat yang sama di acara presconf dan syukuran kongres PARFI ke XIV, Aa Gatot kepada wartawan menjelaskan keterlibatannya dalam kongres ini ingin melihat PARFI berjalan dengan lancar, damai tanpa ada konflik.
"Siapapun yang akan terpilih menjadi ketua umum parfi kita serahkan saja kepada anggota, sebab kedaulatan ada di tangan anggota, pemilik suara dalam pemilihan nanti," ujar Aa Gatot.
Pada kesempatan itu, Aa Gatot mengimbau kepada seluruh anggota PARFI untuk berpartisipasi dan berperan aktif dalam kongres nanti.
"Maju tidaknya organisasi ini tergantung pada pengurus dan anggotanya, kalau ada kekurangan mari kita perbaiki, apapun yang terjadi kita tetap satu hati," ujarnya semangat.
Beberapa dasar-dasar yang ingin Aa Gatot rumuskan demi kemajuan PARFI antaranya membentuk LBH PARFI untuk membela hak-hak para artis anggota PARFI, bermitra secara signifikan dengan sesama organisasi perfilman seperti KFT dan PPFI, demikian juga dengan lembaga-lembaga pemerintah dan swasta yang terkait bidang perfilman. (tis)
»»  READMORE...

Rabu, 27 April 2011

Sajak Seorang Tua Untuk Isterinya


Oleh : W.S. Rendra

Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang
Dan juga masa depan kita
yang hampir rampung
dan dengan lega akan kita lunaskan.
Kita tidaklah sendiri
dan terasing dengan nasib kita
Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan.
Suka duka kita bukanlah istimewa
kerna setiap orang mengalaminya.
Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
bekerja membalik tanah
memasuki rahasia langit dan samodra,
serta mencipta dan mengukir dunia.
Kita menyandang tugas,
kerna tugas adalah tugas.
Bukannya demi sorga atau neraka.
Tetapi demi kehormatan seorang manusia.
Kerna sesungguhnyalah kita bukan debu
meski kita telah reyot, tua renta dan kelabu.
Kita adalah kepribadian
dan harga kita adalah kehormatan kita.
Tolehlah lagi ke belakang
ke masa silam yang tak seorangpun kuasa menghapusnya.
Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna.
Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita.
Sembilan puluh tahun yang selalu bangkit
melewatkan tahun-tahun lama yang porak poranda.
Dan kenangkanlah pula
bagaimana kita dahulu tersenyum senantiasa
menghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita.
Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara.
Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.
Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.
Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama,
nasib, dan kehidupan.
Lihatlah! Sembilan puluh tahun penuh warna
Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma.
Kita menjadi goyah dan bongkok
kerna usia nampaknya lebih kuat dari kita
tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan.
Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kaukenangkan encokmu
kenangkanlah pula
bahwa kita ditantang seratus dewa.
»»  READMORE...

Pamplet Cinta


Oleh : W.S. Rendra
Ma, nyamperin matahari dari satu sisi.
Memandang wajahmu dari segenap jurusan.
Aku menyaksikan zaman berjalan kalangkabutan.
Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku.
Aku merindukan wajahmu,
dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa.
Kampus telah diserbu mobil berlapis baja.
Kata-kata telah dilawan dengan senjata.
Aku muak dengan gaya keamanan semacam ini.
Kenapa keamanan justru menciptakan ketakutan dan ketegangan
Sumber keamanan seharusnya hukum dan akal sehat.
Keamanan yang berdasarkan senjata dan kekuasaan adalah penindasan
Suatu malam aku mandi di lautan.
Sepi menjdai kaca.
Bunga-bunga yang ajaib bermekaran di langit.
Aku inginkan kamu, tapi kamu tidak ada.
Sepi menjadi kaca.
Apa yang bisa dilakukan oleh penyair
bila setiap kata telah dilawan dengan kekuasaan ?
Udara penuh rasa curiga.
Tegur sapa tanpa jaminan.
Air lautan berkilat-kilat.
Suara lautan adalah suara kesepian.
Dan lalu muncul wajahmu.
Kamu menjadi makna
Makna menjadi harapan.
……. Sebenarnya apakah harapan ?
Harapan adalah karena aku akan membelai rambutmu.
Harapan adalah karena aku akan tetap menulis sajak.
Harapan adalah karena aku akan melakukan sesuatu.
Aku tertawa, Ma !
Angin menyapu rambutku.
Aku terkenang kepada apa yang telah terjadi.
Sepuluh tahun aku berjalan tanpa tidur.
Pantatku karatan aku seret dari warung ke warung.
Perutku sobek di jalan raya yang lengang…….
Tidak. Aku tidak sedih dan kesepian.
Aku menulis sajak di bordes kereta api.
Aku bertualang di dalam udara yang berdebu.
Dengan berteman anjing-anjing geladak dan kucing-kucing liar,
aku bernyanyi menikmati hidup yang kelabu.
Lalu muncullah kamu,
nongol dari perut matahari bunting,
jam duabelas seperempat siang.
Aku terkesima.
Aku disergap kejadian tak terduga.
Rahmat turun bagai hujan
membuatku segar,
tapi juga menggigil bertanya-tanya.
Aku jadi bego, Ma !
Yaaah , Ma, mencintai kamu adalah bahagia dan sedih.
Bahagia karena mempunyai kamu di dalam kalbuku,
dan sedih karena kita sering berpisah.
Ketegangan menjadi pupuk cinta kita.
Tetapi bukankah kehidupan sendiri adalah bahagia dan sedih ?
Bahagia karena  napas mengalir dan jantung berdetak.
Sedih karena pikiran diliputi bayang-bayang.
Adapun harapan adalah penghayatan akan ketegangan.
Ma, nyamperin matahari dari satu sisi,
memandang wajahmu dari segenap jurusan.
Pejambon, Jakarta, 28 April 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi

»»  READMORE...

Mazmur Mawar




Oleh : W.S. Rendra

Kita muliakan Nama Tuhan
Kita muliakan dengan segenap mawar
Kita muliakan Tuhan yang manis,
indah, dan penuh kasih sayang
Tuhan adalah serdadu yang tertembak
Tuhan berjalan di sepanjang jalan becek
sebagai orang miskin yang tua dan bijaksana
dengan baju compang-camping
membelai kepala kanak-kanak yang lapar.
Tuhan adalah Bapa yang sakit batuk
Dengan pandangan arif dan bijak
membelai kepala para pelacur
Tuhan berada di gang-gang gelap
Bersama para pencuri, para perampok
dan para pembunuh
Tuhan adalah teman sekamar para penjinah
Raja dari segala raja
adalah cacing bagi bebek dan babi
Wajah Tuhan yang manis adalah meja pejudian
yang berdebu dan dibantingi kartu-kartu
Dan sekarang saya lihat
Tuhan sebagai orang tua renta
tidur melengkung di trotoar
batuk-batuk karena malam yang dingin
dan tangannya menekan perutnya yang lapar
Tuhan telah terserang lapar, batuk, dan selesma,
menangis di tepi jalan.
Wahai, ia adalah teman kita yang akrab!
Ia adalah teman kita semua: para musuh polisi,
Para perampok, pembunuh, penjudi,
pelacur, penganggur, dan peminta-minta
Marilah kita datang kepada-Nya
kita tolong teman kita yang tua dan baik hati.
Dikutip dari:
Sajak-sajak Sepatu Tua
Rendra
Pustaka Jaya

Dirgahayu6 – Karya Wiyata 83 Tahun XX Juli-Agustus 1997
»»  READMORE...

Lagu Serdadu


Oleh : W.S. Rendra
Kami masuk serdadu dan dapat senapang
ibu kami nangis tapi elang toh harus terbang
Yoho, darah kami campur arak!
Yoho, mimpi kami patung-patung dari perak
Nenek cerita pulau-pulau kita indah sekali
Wahai, tanah yang baik untuk mati
Dan kalau ku telentang dengan pelor timah
cukilah ia bagi puteraku di rumah
Siasat
No.  630, th. 13
Nopember 1959




»»  READMORE...

Lagu Seorang Gerilya

(Untuk puteraku Isaias Sadewa)
Oleh : W.S. Rendra
Engkau melayang jauh, kekasihku.
Engkau mandi cahaya matahari.
Aku di sini memandangmu,
menyandang senapan, berbendera pusaka.
Di antara pohon-pohon pisang di kampung kita yang berdebu,
engkau berkudung selendang katun di kepalamu.
Engkau menjadi suatu keindahan,
sementara dari jauh
resimen tank penindas terdengar menderu.
Malam bermandi  cahaya matahari,
kehijauan menyelimuti medan perang yang membara.
Di dalam hujan tembakan mortir, kekasihku,
engkau menjadi pelangi yang agung dan syahdu
Peluruku habis
dan darah muncrat dari dadaku.
Maka  di saat seperti itu
kamu menyanyikan lagu-lagu perjuangan
bersama kakek-kakekku yang telah gugur
di dalam berjuang membela rakyat jelata
Jakarta, 2 september 1977
Potret Pembangunan dalam Puisi
»»  READMORE...

Hai, Kamu !

Oleh : W.S. Rendra
Luka-luka di dalam lembaga,
intaian keangkuhan kekerdilan jiwa,
noda di dalam pergaulan antar manusia,
duduk di dalam kemacetan angan-angan.
Aku berontak dengan memandang cakrawala.
Jari-jari waktu menggamitku.
Aku menyimak kepada arus kali.
Lagu margasatwa agak mereda.
Indahnya ketenangan turun ke hatiku.
Lepas sudah himpitan-himpitan yang mengekangku.
Jakarta, 29 Pebruari 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi

»»  READMORE...

GUGUR


Oleh : W.S. Rendra
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Tiada kuasa lagi menegak
Telah ia lepaskan dengan gemilang
pelor terakhir dari bedilnya
Ke dada musuh yang merebut kotanya
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Ia sudah tua
luka-luka di badannya
Bagai harimau tua
susah payah maut menjeratnya
Matanya bagai saga
menatap musuh pergi dari kotanya
Sesudah pertempuran yang gemilang itu
lima pemuda mengangkatnya
di antaranya anaknya
Ia menolak
dan tetap merangkak
menuju kota kesayangannya
Ia merangkak
di atas bumi yang dicintainya
Belumlagi selusin tindak
mautpun menghadangnya.
Ketika anaknya memegang tangannya
ia berkata :
” Yang berasal dari tanah
kembali rebah pada tanah.
Dan aku pun berasal dari tanah
tanah Ambarawa yang kucinta
Kita bukanlah anak jadah
Kerna kita punya bumi kecintaan.
Bumi yang menyusui kita
dengan mata airnya.
Bumi kita adalah tempat pautan yang sah.
Bumi kita adalah kehormatan.
Bumi kita adalah juwa dari jiwa.
Ia adalah bumi nenek moyang.
Ia adalah bumi waris yang sekarang.
Ia adalah bumi waris yang akan datang.”
Hari pun berangkat malam
Bumi berpeluh dan terbakar
Kerna api menyala di kota Ambarawa
Orang tua itu kembali berkata :
“Lihatlah, hari telah fajar !
Wahai bumi yang indah,
kita akan berpelukan buat selama-lamanya !
Nanti sekali waktu
seorang cucuku
akan menacapkan bajak
di bumi tempatku berkubur
kemudian akan ditanamnya benih
dan tumbuh dengan subur
Maka ia pun berkata :
-Alangkah gemburnya tanah di sini!”
Hari pun lengkap malam
ketika menutup matanya
»»  READMORE...

Gerilya


Oleh : W.S. Rendra

Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling di jalan
Angin tergantung
terkecap pahitnya tembakau
bendungan keluh dan bencana
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan
Dengan tujuh lubang pelor
diketuk gerbang langit
dan menyala mentari muda
melepas kesumatnya
Gadis berjalan di subuh merah
dengan sayur-mayur di punggung
melihatnya pertama
Ia beri jeritan manis
dan duka daun wortel
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan
Orang-orang kampung mengenalnya
anak janda berambut ombak
ditimba air bergantang-gantang
disiram atas tubuhnya
Tubuh biru
tatapan mata biru
lelaki berguling dijalan
Lewat gardu Belanda dengan berani
berlindung warna malam
sendiri masuk kota
ingin ikut ngubur ibunya
Siasat
Th IX, No. 42
1955

»»  READMORE...

Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang


Oleh : W.S. Rendra
Tuhanku,
WajahMu membayang di kota terbakar
dan firmanMu terguris di atas ribuan
kuburan yang dangkal
Anak menangis kehilangan bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia
Apabila malam turun nanti
sempurnalah sudah warna dosa
dan mesiu kembali lagi bicara
Waktu itu, Tuhanku,
perkenankan aku membunuh
perkenankan aku menusukkan sangkurku
Malam dan wajahku
adalah satu warna
Dosa dan nafasku
adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan
kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-
Apa yang bisa diucapkan
oleh bibirku yang terjajah ?
Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai
mendekap bumi yang mengkhianatiMu
Tuhanku
Erat-erat kugenggam senapanku
Perkenankan aku membunuh
Perkenankan aku menusukkan sangkurku
Mimbar Indonesia
Th. XIV, No. 25
18 Juni 1960

»»  READMORE...

Aku Tulis Pamplet Ini


Oleh : W.S. Rendra
Aku tulis pamplet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng – iya – an
Apa yang terpegang hari ini
bisa luput besok pagi
Ketidakpastian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki
menjadi marabahaya
menjadi isi kebon binatang
Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan
Aku tulis pamplet ini
karena pamplet bukan tabu bagi penyair
Aku inginkan merpati pos.
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.
Aku tidak melihat alasan
kenapa harus diam tertekan dan termangu.
Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.
Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran ?
Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.
Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api.
Rembulan memberi mimpi pada dendam.
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah
yang teronggok bagai  sampah
Kegamangan. Kecurigaan.
Ketakutan.
Kelesuan.
Aku tulis pamplet ini
karena kawan dan lawan adalah saudara
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam diganti rembulan.
Lalu besok pagi pasti terbit kembali.
Dan di dalam air lumpur kehidupan,
aku melihat bagai terkaca :
ternyata kita, toh, manusia !
Pejambon Jakarta 27 April 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi

»»  READMORE...

Sajak Sebatang Lisong


Oleh : W.S. Rendra
Menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya,
mendengar 130 juta rakyat,
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang,
berak di atas kepala mereka
Matahari terbit.
Fajar tiba.
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak
tanpa pendidikan.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet,
dan papantulis-papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan.
Delapan juta kanak-kanak
menghadapi satu jalan panjang,
tanpa pilihan,
tanpa pepohonan,
tanpa dangau persinggahan,
tanpa ada bayangan ujungnya.
…………………
Menghisap udara
yang disemprot deodorant,
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya;
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiun.
Dan di langit;
para tekhnokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas,
bahwa bangsa mesti dibangun;
mesti di-up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
Gunung-gunung menjulang.
Langit pesta warna di dalam senjakala
Dan aku melihat
protes-protes yang terpendam,
terhimpit di bawah tilam.
Aku bertanya,
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
Bunga-bunga bangsa tahun depan
berkunang-kunang pandang matanya,
di bawah iklan berlampu neon,
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau,
menjadi karang di bawah muka samodra.
………………
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.
Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.
19 Agustus 1977
ITB Bandung

»»  READMORE...

Orang-Orang Miskin


Oleh : W.S. Rendra

Orang-orang miskin di jalan,
yang tinggal di dalam selokan,
yang kalah di dalam pergulatan,
yang diledek oleh impian,
janganlah mereka ditinggalkan.
Angin membawa bau baju mereka.
Rambut mereka melekat di bulan purnama.
Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala,
mengandung buah jalan raya.
Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa.
Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya.
Tak bisa kamu abaikan.
Bila kamu remehkan mereka,
di jalan  kamu akan diburu bayangan.
Tidurmu akan penuh igauan,
dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka.
Jangan kamu bilang negara ini kaya
karena orang-orang berkembang di kota dan di desa.
Jangan kamu bilang dirimu kaya
bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya.
Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu.
Dan perlu diusulkan
agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda.
Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa.
Orang-orang miskin di jalan
masuk ke dalam tidur malammu.
Perempuan-perempuan bunga raya
menyuapi putra-putramu.
Tangan-tangan kotor dari jalanan
meraba-raba kaca jendelamu.
Mereka tak bisa kamu biarkan.
Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol.
Mereka akan menjadi pertanyaan
yang mencegat ideologimu.
Gigi mereka yang kuning
akan meringis di muka agamamu.
Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap
akan hinggap di gorden presidenan
dan buku programma gedung kesenian.
Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah,
bagai udara panas yang selalu ada,
bagai gerimis yang selalu membayang.
Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau
tertuju ke dada kita,
atau ke dada mereka sendiri.
O, kenangkanlah :
orang-orang miskin
juga berasal dari kemah Ibrahim
Yogya, 4 Pebruari 1978
Potret Pembangunan dalam Puisi

»»  READMORE...